Majalah ini berasal dari berita Detik.com.... hanya referensi saja tentang dokumen sejarah yang berangkali berguna untuk melihat lembar-lembar yang sudah hilang dari ingatan kita.
1. Detik Kontroversi Soekarno Edisi no 2
2. Detik Fakta Baru Kartosuwiryo Edisi no 15
3. Detik Kontroversi Pembantaian PKI Edisi no 17
4. Detik Sufi Metropolitan Edisi No. 62
5. Detik Balada WR. Soepratman Edisi No. 63
6. Detik Berebut Soekarno Edisi no. 69
7. Detik Sengketa Keluarga Adam Malik Edisi no 81
Rabu, 28 Mei 2014
Sabtu, 24 Mei 2014
Konsep Pendidikan
KONSEP PENDIDIKAN
1. Enam Karakter Pendidikan Islam
2. Pendidikan Ki Hajar Dewantoro
3. Trikotomi Pendidikan Ki Hajar Dewantoro
1. Enam Karakter Pendidikan Islam
2. Pendidikan Ki Hajar Dewantoro
3. Trikotomi Pendidikan Ki Hajar Dewantoro
Filsafat Kehidupan
FILSAFAT KEHIDUPAN
1. Filsafat Islam
2. Filosuf Ar Rozi
3. Ramalan Ki Joyoboyo
4. Lir Ilir (Sunan Kalijogo)
1. Filsafat Islam
2. Filosuf Ar Rozi
3. Ramalan Ki Joyoboyo
4. Lir Ilir (Sunan Kalijogo)
PTK MI (istri)
A. PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK)
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PESERTA DIDIK DALAM MENJAWAB ISI DONGENG DENGAN MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK MELALUI BIMBINGAN DAN LATIHAN
DI KELAS III MI SIROJUSSIBYAN CIBATOK
CIBUNGBULANG BOGOR
B. BIDANG KAJIAN
Masalah Belajar Peserta didik di Madrasah
C. PENDAHULUAN
Dongeng merupakan kisah atau cerita
yang didalamnya mengandung pembelajaran yang berguna bagi peserta didik. Pesan
yang disampaikan dalam dongeng mengandung pendidikan dan merupakan pelajaran
yang paling mudah disampaikan seorang kepada peserta didik terutama untuk
kalangan anak-anak.
Kuncinya dalam mendongeng adalah
menguasai cerita dan penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Sehingga pesan yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik oleh
pendengarnya yaitu anak-anak.
Dalam kurikulum pada Madrasah
Ibtidaiyah tahun 2011, pada kelas tematik bahasa Indonesia siswa diharapkan nantinya
memiliki kemampuan berbahasa yang meliputi: (a) mendengarkan, (b) berbicara
secara efektif dan efisien, (c) membaca dan memahami, dan (d) menulis secara
efektif dan efisien. Tujuan dari kemampuan yang diharapkan itu sebenarnya agar
siswa mampu berinteraksi maupun berkomunikasi sehingga potensi pada dirinya
akan tergali.
Khusus untuk siswa kelas III yaitu
kelas Tematik bahasa Indonesia di MI Sirojusshibyan Cibeureum Kecamatan Cibungbulang.
Selama 3 kali semester, yaitu tahun pelajaran 2012-2013 semester 1 dan 2 serta
tahun pelajaran 2013-2014 semester 1 ternyata hasilnya masih belum memuaskan,
terutama dalam menjawab isi dongeng.
Kesulitan yang sering terlihat pada siswa
khususnya dalam menjawab isi dongeng, siswa tidak bisa memahami isi dongeng
sehingga siswa kesulitan menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan isi
dongeng, ada juga siswa yang terkadang kurang berani menanyakan kepada guru
walaupun sebenarnya tidak mengerti.
Beberapa kali pemberian tugas pada mata
pelajaran Bahasa Indonesia dalam menjawab isi dongeng dengan menggunakan Bahasa
Indonesia yang benar hanya sebagian kecil siswa yang menjawab benar sedang
sebagian besar lainnya tidak menjawab dengan benar. Sehingga siswa yang tidak
menjawab dengan benar bisa dianggap tidak lulus, sedangkan yang menjawab benar
dinilai telah lulus sesuai dengan ketentuan nilai KKM. Maka dibawah ini
disajikan beberapa data selama 3 semester terakhir sebagai berikut:


Selama pembelajaran berlangsung siswa
ada yang asyik mendengarkan dongeng dengan baik, namun tidak ada yang
mengajukan pertanyaan bahkan ada juga siswa yang asyik bermain sendiri di
tempat duduknya. Kondisi seperti itu menyebabkan rencana pembelajaran yang sudah
disusun tidak dapat berjalan dengan baik, dan tujuan pembealajran tidak dapat
tercapai secara maksimal.
Berdasarkan alasan tersebut, peneliti meminta bantuan teman
sejawat untuk mengidentifikasi kekurangan
setelah pembelajaran dilaksanakan. Hasil diskusi dengan teman sejawat ditemukan beberapa masalah yang terjadi dalam
pembelajaran antara lain:
1.
Siswa tidak bisa memahami isi
dongeng, sehingga mengalami kesulitan dalam menjawab isi dongeng.
2.
Siswa kurang berani mengajukan
pertanyaan.
3.
Tingkat penguasaan siswa dalam
memahami Bahasa Indonesia dan mengembangkan kosa
kata masih rendah.
Untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi
pelajaran, penulis melaksanakan perbaikan
pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas. Selanjutnya
Lir Ilir (Sunan Kalijogo)
Lirik Lagu Lir-ilir (Sunan Kali Jogo)
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo…
*Arti Lirik Lagu Lir-ilir
Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat
untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung bulan bersinar terang,mumpung banyak waktu luang
Ayo bersoraklah dengan sorakan iya
*Makna yang terkandung lagu Lir-ilir adalah sbb:
Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi
meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya?
Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa Pakaian yang dimaksuda adalah pakaian
taqwa kita. Sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehdirat
Alloh SWT. Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah
dengan iya.
Lir-ilir, lir-ilir
Tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo…
*Arti Lirik Lagu Lir-ilir
Bangunlah, bangunlah
Tanaman sudah bersemi
Demikian menghijau bagaikan pengantin baru
Anak gembala, anak gembala panjatlah (pohon) belimbing itu
Biar licin dan susah tetaplah kau panjat
untuk membasuh pakaianmu
Pakaianmu, pakaianmu terkoyak-koyak di bagian samping
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung bulan bersinar terang,mumpung banyak waktu luang
Ayo bersoraklah dengan sorakan iya
*Makna yang terkandung lagu Lir-ilir adalah sbb:
Sebagai umat Islam kita diminta bangun. Bangun dari keterpurukan, bangun dari sifat malas untuk lebih mempertebal keimanan yang telah ditanamkan oleh Alloh dalam diri kita yang dalam ini dilambangkan dengan tanaman yang mulai bersemi dan demikian menghijau. Terserah kepada kita, mau tetap tidur dan membiarkan tanaman iman kita mati atau bangun dan berjuang untuk menumbuhkan tanaman tersebut hingga besar dan mendapatkan kebahagiaan seperti bahagianya pengantin baru. Disini disebut anak gembala karena oleh Alloh, kita telah diberikan sesuatu untuk digembalakan yaitu HATI. Bisakah kita menggembalakan hati kita dari dorongan hawa nafsu yang demikian kuatnya? Si anak gembala diminta memanjat pohon belimbing yang notabene buah belimbing bergerigi lima buah. Buah belimbing disini menggambarkan lima rukun Islam. Jadi
meskipun licin, meskipun susah kita harus tetap memanjat pohon belimbing tersebut dalam arti sekuat tenaga kita tetap berusaha menjalankan Rukun Islam apapun halangan dan resikonya. Lalu apa gunanya?
Gunanya adalah untuk mencuci pakaian kita yaitu pakaian taqwa Pakaian yang dimaksuda adalah pakaian
taqwa kita. Sebagai manusia biasa pasti terkoyak dan berlubang di sana sini, untuk itu kita diminta untuk selalu memperbaiki dan membenahinya agar kelak kita sudah siap ketika dipanggil menghadap kehdirat
Alloh SWT. Kita diharapkan melakukan hal-hal diatas ketika kita masih sehat (dilambangkan dengan terangnya bulan) dan masih mempunyai banyak waktu luang dan jika ada yang mengingatkan maka jawablah
dengan iya.
Ramalan Ki Joyoboyo
RAMALAN JAYABAYA
- Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran --- Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
- Tanah Jawa kalungan wesi --- Pulau Jawa berkalung besi.
- Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang --- Perahu berjalan di angkasa.
- Kali ilang kedhunge --- Sungai kehilangan mata air.
- Pasar ilang kumandhang --- Pasar kehilangan suara.
- Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak --- Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
- Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
- Sekilan bumi dipajeki --- Sejengkal tanah dikenai pajak.
- Jaran doyan mangan sambel --- Kuda suka makan sambal.
- Wong wadon nganggo pakeyan lanang --- Orang perempuan berpakaian lelaki.
- Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman--- Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
- Akeh janji ora ditetepi --- Banyak janji tidak ditepati.
- keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe--- Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
- Manungsa padha seneng nyalah--- Orang-orang saling lempar kesalahan.
- Ora ngendahake hukum Hyang Widhi--- Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
- Barang jahat diangkat-angkat--- Yang jahat dijunjung-junjung.
- Barang suci dibenci--- Yang suci (justru) dibenci.
- Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit--- Banyak orang hanya mementingkan uang.
- Lali kamanungsan--- Lupa jati kemanusiaan.
- Lali kabecikan--- Lupa hikmah kebaikan.
- Lali sanak lali kadang--- Lupa sanak lupa saudara.
- Akeh bapa lali anak--- Banyak ayah lupa anak.
- Akeh anak wani nglawan ibu--- Banyak anak berani melawan ibu.
- Nantang bapa--- Menantang ayah.
- Sedulur padha cidra--- Saudara dan saudara saling khianat.
- Kulawarga padha curiga--- Keluarga saling curiga.
- Kanca dadi mungsuh --- Kawan menjadi lawan.
- Akeh manungsa lali asale --- Banyak orang lupa asal-usul.
- Ukuman Ratu ora adil --- Hukuman Raja tidak adil
- Akeh pangkat sing jahat lan ganjil--- Banyak pejabat jahat dan ganjil
- Akeh kelakuan sing ganjil --- Banyak ulah-tabiat ganjil
- Wong apik-apik padha kapencil --- Orang yang baik justru tersisih.
- Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin --- Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
- Luwih utama ngapusi --- Lebih mengutamakan menipu.
- Wegah nyambut gawe --- Malas untuk bekerja.
- Kepingin urip mewah --- Inginnya hidup mewah.
- Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka --- Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
- Wong bener thenger-thenger --- Orang (yang) benar termangu-mangu.
- Wong salah bungah --- Orang (yang) salah gembira ria.
- Wong apik ditampik-tampik--- Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
- Wong jahat munggah pangkat--- Orang (yang) jahat naik pangkat.
- Wong agung kasinggung--- Orang (yang) mulia dilecehkan
- Wong ala kapuja--- Orang (yang) jahat dipuji-puji.
- Wong wadon ilang kawirangane--- perempuan hilang malu.
- Wong lanang ilang kaprawirane--- Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
- Akeh wong lanang ora duwe bojo--- Banyak laki-laki tak mau beristri.
- Akeh wong wadon ora setya marang bojone--- Banyak perempuan ingkar pada suami.
- Akeh ibu padha ngedol anake--- Banyak ibu menjual anak.
- Akeh wong wadon ngedol awake--- Banyak perempuan menjual diri.
- Akeh wong ijol bebojo--- Banyak orang gonta-ganti pasangan.
- Wong wadon nunggang jaran--- Perempuan menunggang kuda.
- Wong lanang linggih plangki--- Laki-laki naik tandu.
- Randha seuang loro--- Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
- Prawan seaga lima--- Lima perawan lima picis.
- Dhudha pincang laku sembilan uang--- Duda pincang laku sembilan uang.
- Akeh wong ngedol ngelmu--- Banyak orang berdagang ilmu.
- Akeh wong ngaku-aku--- Banyak orang mengaku diri.
- Njabane putih njerone dhadhu--- Di luar putih di dalam jingga.
- Ngakune suci, nanging sucine palsu--- Mengaku suci, tapi palsu belaka.
- Akeh bujuk akeh lojo--- Banyak tipu banyak muslihat.
- Akeh udan salah mangsa--- Banyak hujan salah musim.
- Akeh prawan tuwa--- Banyak perawan tua.
- Akeh randha nglairake anak--- Banyak janda melahirkan bayi.
- Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne--- Banyak anak lahir mencari bapaknya.
- Agama akeh sing nantang--- Agama banyak ditentang.
- Prikamanungsan saya ilang--- Perikemanusiaan semakin hilang.
- Omah suci dibenci--- Rumah suci dijauhi.
- Omah ala saya dipuja--- Rumah maksiat makin dipuja.
- Wong wadon lacur ing ngendi-endi--- Perempuan lacur dimana-mana.
- Akeh laknat--- Banyak kutukan
- Akeh pengkianat--- Banyak pengkhianat.
- Anak mangan bapak---Anak makan bapak.
- Sedulur mangan sedulur---Saudara makan saudara.
- Kanca dadi mungsuh---Kawan menjadi lawan.
- Guru disatru---Guru dimusuhi.
- Tangga padha curiga---Tetangga saling curiga.
- Kana-kene saya angkara murka --- Angkara murka semakin menjadi-jadi.
- Sing weruh kebubuhan---Barangsiapa tahu terkena beban.
- Sing ora weruh ketutuh---Sedang yang tak tahu disalahkan.
- Besuk yen ana peperangan---Kelak jika terjadi perang.
- Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
- Akeh wong becik saya sengsara--- Banyak orang baik makin sengsara.
- Wong jahat saya seneng--- Sedang yang jahat makin bahagia.
- Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--- Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
- Wong salah dianggep bener---Orang salah dipandang benar.
- Pengkhianat nikmat---Pengkhianat nikmat.
- Durjana saya sempurna--- Durjana semakin sempurna.
- Wong jahat munggah pangkat--- Orang jahat naik pangkat.
- Wong lugu kebelenggu--- Orang yang lugu dibelenggu.
- Wong mulya dikunjara--- Orang yang mulia dipenjara.
- Sing curang garang--- Yang curang berkuasa.
- Sing jujur kojur--- Yang jujur sengsara.
- Pedagang akeh sing keplarang--- Pedagang banyak yang tenggelam.
- Wong main akeh sing ndadi---Penjudi banyak merajalela.
- Akeh barang haram---Banyak barang haram.
- Akeh anak haram---Banyak anak haram.
- Wong wadon nglamar wong lanang---Perempuan melamar laki-laki.
- Wong lanang ngasorake drajate dhewe---Laki-laki memperhina derajat sendiri.
- Akeh barang-barang mlebu luang---Banyak barang terbuang-buang.
- Akeh wong kaliren lan wuda---Banyak orang lapar dan telanjang.
- Wong tuku ngglenik sing dodol---Pembeli membujuk penjual.
- Sing dodol akal okol---Si penjual bermain siasat.
- Wong golek pangan kaya gabah diinteri---Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
- Sing kebat kliwat---Yang tangkas lepas.
- Sing telah sambat---Yang terlanjur menggerutu.
- Sing gedhe kesasar---Yang besar tersasar.
- Sing cilik kepleset---Yang kecil terpeleset.
- Sing anggak ketunggak---Yang congkak terbentur.
- Sing wedi mati---Yang takut mati.
- Sing nekat mbrekat---Yang nekat mendapat berkat.
- Sing jerih ketindhih---Yang hati kecil tertindih
- Sing ngawur makmur---Yang ngawur makmur
- Sing ngati-ati ngrintih---Yang berhati-hati merintih.
- Sing ngedan keduman---Yang main gila menerima bagian.
- Sing waras nggagas---Yang sehat pikiran berpikir.
- Wong tani ditaleni---Orang (yang) bertani diikat.
- Wong dora ura-ura---Orang (yang) bohong berdendang.
- Ratu ora netepi janji, musna panguwasane---Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
- Bupati dadi rakyat---Pegawai tinggi menjadi rakyat.
- Wong cilik dadi priyayi---Rakyat kecil jadi priyayi.
- Sing mendele dadi gedhe---Yang curang jadi besar.
- Sing jujur kojur---Yang jujur celaka.
- Akeh omah ing ndhuwur jaran---Banyak rumah di punggung kuda.
- Wong mangan wong---Orang makan sesamanya.
- Anak lali bapak---Anak lupa bapa.
- Wong tuwa lali tuwane---Orang tua lupa ketuaan mereka.
- Pedagang adol barang saya laris---Jualan pedagang semakin laris.
- Bandhane saya ludhes---Namun harta mereka makin habis.
- Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---Banyak orang mati lapar di samping makanan.
- Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
- Sing edan bisa dandan---Yang gila bisa bersolek.
- Sing bengkong bisa nggalang gedhong---Si bengkok membangun mahligai.
- Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
- Ana peperangan ing njero---Terjadi perang di dalam.
- Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
- Durjana saya ngambra-ambra---Kejahatan makin merajalela.
- Penjahat saya tambah---Penjahat makin banyak.
- Wong apik saya sengsara---Yang baik makin sengsara.
- Akeh wong mati jalaran saka peperangan---Banyak orang mati karena perang.
- Kebingungan lan kobongan---Karena bingung dan kebakaran.
- Wong bener saya thenger-thenger---Si benar makin tertegun.
- Wong salah saya bungah-bungah---Si salah makin sorak sorai.
- Akeh bandha musna ora karuan lungane---Banyak harta hilang entah ke mana
- Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
- Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---Banyak barang haram, banyak anak haram.
- Bejane sing lali, bejane sing eling---Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
- Nanging sauntung-untunge sing lali---Tapi betapapun beruntung si lupa.
- Isih untung sing waspada---Masih lebih beruntung si waspada.
- Angkara murka saya ndadi---Angkara murka semakin menjadi.
- Kana-kene saya bingung---Di sana-sini makin bingung.
- Pedagang akeh alangane---Pedagang banyak rintangan.
- Akeh buruh nantang juragan---Banyak buruh melawan majikan.
- Juragan dadi umpan---Majikan menjadi umpan.
- Sing suwarane seru oleh pengaruh---Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
- Wong pinter diingar-ingar---Si pandai direcoki.
- Wong ala diuja---Si jahat dimanjakan.
- Wong ngerti mangan ati---Orang yang mengerti makan hati.
- Bandha dadi memala---Hartabenda menjadi penyakit
- Pangkat dadi pemikat---Pangkat menjadi pemukau.
- Sing sawenang-wenang rumangsa menang --- Yang sewenang-wenang merasa menang
- Sing ngalah rumangsa kabeh salah---Yang mengalah merasa serba salah.
- Ana Bupati saka wong sing asor imane---Ada raja berasal orang beriman rendah.
- Patihe kepala judhi---Maha menterinya benggol judi.
- Wong sing atine suci dibenci---Yang berhati suci dibenci.
- Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
- Pemerasan saya ndadra---Pemerasan merajalela.
- Maling lungguh wetenge mblenduk --- Pencuri duduk berperut gendut.
- Pitik angrem saduwure pikulan---Ayam mengeram di atas pikulan.
- Maling wani nantang sing duwe omah---Pencuri menantang si empunya rumah.
- Begal pada ndhugal---Penyamun semakin kurang ajar.
- Rampok padha keplok-keplok---Perampok semua bersorak-sorai.
- Wong momong mitenah sing diemong---Si pengasuh memfitnah yang diasuh
- Wong jaga nyolong sing dijaga---Si penjaga mencuri yang dijaga.
- Wong njamin njaluk dijamin---Si penjamin minta dijamin.
- Akeh wong mendem donga---Banyak orang mabuk doa.
- Kana-kene rebutan unggul---Di mana-mana berebut menang.
- Angkara murka ngombro-ombro---Angkara murka menjadi-jadi.
- Agama ditantang---Agama ditantang.
- Akeh wong angkara murka---Banyak orang angkara murka.
- Nggedhekake duraka---Membesar-besarkan durhaka.
- Ukum agama dilanggar---Hukum agama dilanggar.
- Prikamanungsan di-iles-iles---Perikemanusiaan diinjak-injak.
- Kasusilan ditinggal---Tata susila diabaikan.
- Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
- Wong cilik akeh sing kepencil---Rakyat kecil banyak tersingkir.
- Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
- Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
- Lan duwe prajurit---Dan punya prajurit.
- Negarane ambane saprawolon---Lebar negeri seperdelapan dunia.
- Tukang mangan suap saya ndadra---Pemakan suap semakin merajalela.
- Wong jahat ditampa---Orang jahat diterima.
- Wong suci dibenci---Orang suci dibenci.
- Timah dianggep perak---Timah dianggap perak.
- Emas diarani tembaga---Emas dibilang tembaga
- Dandang dikandakake kuntul---Gagak disebut bangau.
- Wong dosa sentosa---Orang berdosa sentosa.
- Wong cilik disalahake---Rakyat jelata dipersalahkan.
- Wong nganggur kesungkur---Si penganggur tersungkur.
- Wong sregep krungkep---Si tekun terjerembab.
- Wong nyengit kesengit---Orang busuk hati dibenci.
- Buruh mangluh---Buruh menangis.
- Wong sugih krasa wedi---Orang kaya ketakutan.
- Wong wedi dadi priyayi---Orang takut jadi priyayi.
- Senenge wong jahat---Berbahagialah si jahat.
- Susahe wong cilik---Bersusahlah rakyat kecil.
- Akeh wong dakwa dinakwa---Banyak orang saling tuduh.
- Tindake manungsa saya kuciwa---Ulah manusia semakin tercela.
- Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
- Wong Jawa kari separo---Orang Jawa tinggal setengah.
- Landa-Cina kari sejodho --- Belanda-Cina tinggal sepasang.
- Akeh wong ijir, akeh wong cethil---Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
- Sing eman ora keduman---Si hemat tidak mendapat bagian.
- Sing keduman ora eman---Yang mendapat bagian tidak berhemat.
- Akeh wong mbambung---Banyak orang berulah dungu.
- Akeh wong limbung---Banyak orang limbung.
- Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.
Trikotomi Pendidikan Ki Hajar Dewantoro
Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Seorang siswi Sekolah Dasar (SD) mengamati kata-kata itu yang
terpampang tegak di depan kantor Kementerian Pendidikan Nasional,
Kuningan, Jakarta. Cukup lama ia memandang kalimat besar itu, semakin
pusing pula kepala dibuatnya. Ketika otaknya hampir saja buntu, ia lalu
menoleh ke guru yang berada disampingnya
“Bu Guru tahu artinya?” ujar sang siswi polos.
Sang guru bagai disambar petir mendengar muridnya bertanya seperti itu. Ia bukan kaget karena anak sekecil itu sudah bertanya tentang filosofi pendidikan. Ia pun juga bukan kaget karena peserta didiknya memang terkenal kritis kepada hal-hal janggal yang ditemukannya. Tapi ia kaget karena dirinya sendiri juga tidak tahu meski telah 20 tahun menjadi guru.
“E…ee….e… yang ibu tahu kalimat itu sudah dari sananya, nak. Ibu cuma tahunya begitu.” Ujar sang guru sedikit excuse, kalau tidak mau disebut malu.
“Terus buat apa kalimat ini ditempelkan di sini bu, (Kantor Kemendiknas, red)?” kejar siswi sambil memukul papan besar itu.
Suasana menjadi rumit. Ia baru sadar pertanyaan bocah SD lebih sulit ketimbang profesor sekalipun. Keringat dingin sang guru mulai bercucuran. Ia mulai mencabik-cabil tisu yang ada di tangannya. Tiba-tiba saja, pegawai Kemendiknas lewat di depan mereka berdua. Guru anak tadi seperti mendapatkan jalan keluar.
“Pak..pak.. sebentar pak..” ucap sang guru memberhentikannya dan menjelaskan maksud kenapa ia dipanggil.
“Bapak tahu artinya?” langsung saja bocah SD itu bertanya.
Pegawai itu tersenyum melihat bocah berseragam putih merah itu memberhentikannya. Namun, ia baru saja mengucapkan istighfar sambil memegang dada ketika tahu jemari mungil sang anak mengarah ke kalimat besar yang menjadi “sabda” di kantornya. Hasilnya apa? Lelaki itu hanya menelan ludahnya persis ketika maling sandal tengah dipergoki warga.
Apa boleh buat, kedua orang dewasa itu saling pandang dan tersenyum kecut menyadari pekerjaannya bisa saja hilang akibat ulah sang bocah “usil” itu.
Theosofi, Ki Hadjar Dewantara, dan Pendidkan Indonesia
Dialog diatas sejatinya hanyalah representasi bahwa mental pendidikan bangsa ini adalah mental formil. Siapa yang tahu jawaban bocah itu? Saya, anda, atau siapa? Mungkin kita akan sama posisinya dengan guru dan pegawai itu jika pertanyaan bocah tersebut mampir ke saya dan anda yang juga adalah seorang guru.
Sumpah pemuda yang menyatakan bahwa Indonesia berbahasa satu yakni bahasa Indonesia sepertinya tidak terbukti. Sederhananya, kenapa kita masih sering memakai istilah Jawa pada banyak hal, termasuk motto yang sudah menjadi sabda di dalam dunia pendidikan itu.
Ini bukan berarti kita anti terhadap hal berbau Jawa, melainkan dengan hal ini kita bisa mengukur dan bertanya kembali kepada diri kita tentang berbagai motto yang mencekoki anak didik kita dari kecil sampai dewasa, tanpa didudukkan makna dan sejarah dibaliknya.
Kalimat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri adalah kalimat yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara yang bermakna “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”. Namun konteks kalimat ini disini tidak jelas dalam konteks apa. Maka ia menjadi netral agama. Padahal dalam konsep pendidikan Islam, ta’dib atau tarbiyah selalu didasari pada tauhid kepada Allahuta’la. Ia tidak bisa netral, objektif, dan tanpa sekat keyakinan agama.
Ki Hajar Dewantara memang terkenal sebagai penganut theosofi. Seperti dikutip dari buku Bambang Dewantara, yang berjudul 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, Ki Hadjar mengatakan bahwa semua agama di dunia sama karena mengajarkan asas kasih sayang kepada semua manusia dan mengajarkan perihal kedudukan manusia yang terhormat di hadapan tuhannya.
Ki Hadjar berkeyakinan bahwa sumber gerak evolusi seluruh alam semesta adalah kasih sayang ilahi. Inilah yang disebut dengan isitlah kodrat alam yang diperhamba dan aspek yang dipertuhan dari setiap benda-benda. Konteks inilah yang sekarang kita kenal dengan faham musyrik modern, yakni pluralisme agama
Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yigyakarta yang sangat berkiblat ke Barat. Ketika menyinggung keberadaan Taman Siswa, Buya Hamka pernah menyatakan, “Taman Siswa adalah gearakan abangan, klenik, dan primbon jawa. Yang menjalankan ritual shalat Daim”
Dalam kepercayaan kebatinan, shalat disini tidak seperti shalat umumnya umat Islam, tapi shalat daim dalam “mazhab” Taman Siswa saat itu adalah shalat dalam perspektif kebatinan yakni menjalankan kebaikan terus menerus. Doa iftitah dalam shalat daim pun, terlihat janggal dan aneh.
“Aku berniat shalat daim untuk selama hidupku. Berdirinya adalah hidup. Rukuknya adalah mataku. I’tidalnya adalah kupingku, sujudnya adalah hidungku, bacaan ayatnya adalah mulutku. Duduk adalah tetapnya imanku, tahiyat adalah kuatnya tauhidku, salamnya adalah makrifatnya. Islamku adalah kiblatnya, kiblatnya adalah menghadap fikiranku”
Niels Mulders, dalam karyanya Mistisme Jawa seperti dikutip Artawijaya dalam bukunya “Gerakan Theosofi”, juga menyatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang theosofi yang mengamalkan kebatinan. Ia lebih mementingkan “Hakikat” daripada “Syariat”.
Dalam kepercayaan Kejawen tahap hakikat adalah perjumpaan dengan kebenaran. Orang yang mengamalkan hakikat tidak lagi beribadah dengan berpatokan pada aturan syariat, tetapi menjalankan ibadah dengan perilaku kebaikan sepanjang hari.
Kata berperilaku baik disitu adalah tanda kutip bagi kita? Berperilaku baik seperti apa? Tidak lain dalam konteks theosofi bahwa orang yang berperilaku baik tidak mesti beragama. Lebih baik jadi menjadi orang humanis, daripada relijius tapi jahat. Karena kebenaran yang tertinggi adalah kebenaran itu sendiri. Seperti sebuah harian cetak di Indonesia: Kebenaran tidak pernah memihak!
Pertanyaannya sebetulnya sederhana, kenapa kita yang katanya bermayoritas muslim, tidak memaki moto pendidikan yang jelas saja seperti: Iman, Ilmu dan Amal. Atau Tauhid, Ilmu, dan Jihad. Islam mengajarkan makna yang jelas dan terukur. Karena itu, konsep menjadi orang baik dalam Islam tidak pernah dilepaskan dari sudut pandangan agama.
Kalau sudah begitu, hal ini lebih cocok dan dekat dengan ketakwaan daripada motto yang jelas-jelas didirikan oleh penganut theosofi dan kita sendiri tidak mengerti apa maknanya: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. “Apa pak Menteri juga tahu artinya?” Mungkin begitu kata bocah kecil tadi ketika sampai di kantor Mendiknas. (pz)
“Bu Guru tahu artinya?” ujar sang siswi polos.
Sang guru bagai disambar petir mendengar muridnya bertanya seperti itu. Ia bukan kaget karena anak sekecil itu sudah bertanya tentang filosofi pendidikan. Ia pun juga bukan kaget karena peserta didiknya memang terkenal kritis kepada hal-hal janggal yang ditemukannya. Tapi ia kaget karena dirinya sendiri juga tidak tahu meski telah 20 tahun menjadi guru.
“E…ee….e… yang ibu tahu kalimat itu sudah dari sananya, nak. Ibu cuma tahunya begitu.” Ujar sang guru sedikit excuse, kalau tidak mau disebut malu.
“Terus buat apa kalimat ini ditempelkan di sini bu, (Kantor Kemendiknas, red)?” kejar siswi sambil memukul papan besar itu.
Suasana menjadi rumit. Ia baru sadar pertanyaan bocah SD lebih sulit ketimbang profesor sekalipun. Keringat dingin sang guru mulai bercucuran. Ia mulai mencabik-cabil tisu yang ada di tangannya. Tiba-tiba saja, pegawai Kemendiknas lewat di depan mereka berdua. Guru anak tadi seperti mendapatkan jalan keluar.
“Pak..pak.. sebentar pak..” ucap sang guru memberhentikannya dan menjelaskan maksud kenapa ia dipanggil.
“Bapak tahu artinya?” langsung saja bocah SD itu bertanya.
Pegawai itu tersenyum melihat bocah berseragam putih merah itu memberhentikannya. Namun, ia baru saja mengucapkan istighfar sambil memegang dada ketika tahu jemari mungil sang anak mengarah ke kalimat besar yang menjadi “sabda” di kantornya. Hasilnya apa? Lelaki itu hanya menelan ludahnya persis ketika maling sandal tengah dipergoki warga.
Apa boleh buat, kedua orang dewasa itu saling pandang dan tersenyum kecut menyadari pekerjaannya bisa saja hilang akibat ulah sang bocah “usil” itu.
Theosofi, Ki Hadjar Dewantara, dan Pendidkan Indonesia
Dialog diatas sejatinya hanyalah representasi bahwa mental pendidikan bangsa ini adalah mental formil. Siapa yang tahu jawaban bocah itu? Saya, anda, atau siapa? Mungkin kita akan sama posisinya dengan guru dan pegawai itu jika pertanyaan bocah tersebut mampir ke saya dan anda yang juga adalah seorang guru.
Sumpah pemuda yang menyatakan bahwa Indonesia berbahasa satu yakni bahasa Indonesia sepertinya tidak terbukti. Sederhananya, kenapa kita masih sering memakai istilah Jawa pada banyak hal, termasuk motto yang sudah menjadi sabda di dalam dunia pendidikan itu.
Ini bukan berarti kita anti terhadap hal berbau Jawa, melainkan dengan hal ini kita bisa mengukur dan bertanya kembali kepada diri kita tentang berbagai motto yang mencekoki anak didik kita dari kecil sampai dewasa, tanpa didudukkan makna dan sejarah dibaliknya.
Kalimat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri adalah kalimat yang dilontarkan Ki Hajar Dewantara yang bermakna “Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan”. Namun konteks kalimat ini disini tidak jelas dalam konteks apa. Maka ia menjadi netral agama. Padahal dalam konsep pendidikan Islam, ta’dib atau tarbiyah selalu didasari pada tauhid kepada Allahuta’la. Ia tidak bisa netral, objektif, dan tanpa sekat keyakinan agama.
Ki Hajar Dewantara memang terkenal sebagai penganut theosofi. Seperti dikutip dari buku Bambang Dewantara, yang berjudul 100 Tahun Ki Hadjar Dewantara, Ki Hadjar mengatakan bahwa semua agama di dunia sama karena mengajarkan asas kasih sayang kepada semua manusia dan mengajarkan perihal kedudukan manusia yang terhormat di hadapan tuhannya.
Ki Hadjar berkeyakinan bahwa sumber gerak evolusi seluruh alam semesta adalah kasih sayang ilahi. Inilah yang disebut dengan isitlah kodrat alam yang diperhamba dan aspek yang dipertuhan dari setiap benda-benda. Konteks inilah yang sekarang kita kenal dengan faham musyrik modern, yakni pluralisme agama
Ia mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yigyakarta yang sangat berkiblat ke Barat. Ketika menyinggung keberadaan Taman Siswa, Buya Hamka pernah menyatakan, “Taman Siswa adalah gearakan abangan, klenik, dan primbon jawa. Yang menjalankan ritual shalat Daim”
Dalam kepercayaan kebatinan, shalat disini tidak seperti shalat umumnya umat Islam, tapi shalat daim dalam “mazhab” Taman Siswa saat itu adalah shalat dalam perspektif kebatinan yakni menjalankan kebaikan terus menerus. Doa iftitah dalam shalat daim pun, terlihat janggal dan aneh.
“Aku berniat shalat daim untuk selama hidupku. Berdirinya adalah hidup. Rukuknya adalah mataku. I’tidalnya adalah kupingku, sujudnya adalah hidungku, bacaan ayatnya adalah mulutku. Duduk adalah tetapnya imanku, tahiyat adalah kuatnya tauhidku, salamnya adalah makrifatnya. Islamku adalah kiblatnya, kiblatnya adalah menghadap fikiranku”
Niels Mulders, dalam karyanya Mistisme Jawa seperti dikutip Artawijaya dalam bukunya “Gerakan Theosofi”, juga menyatakan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang theosofi yang mengamalkan kebatinan. Ia lebih mementingkan “Hakikat” daripada “Syariat”.
Dalam kepercayaan Kejawen tahap hakikat adalah perjumpaan dengan kebenaran. Orang yang mengamalkan hakikat tidak lagi beribadah dengan berpatokan pada aturan syariat, tetapi menjalankan ibadah dengan perilaku kebaikan sepanjang hari.
Kata berperilaku baik disitu adalah tanda kutip bagi kita? Berperilaku baik seperti apa? Tidak lain dalam konteks theosofi bahwa orang yang berperilaku baik tidak mesti beragama. Lebih baik jadi menjadi orang humanis, daripada relijius tapi jahat. Karena kebenaran yang tertinggi adalah kebenaran itu sendiri. Seperti sebuah harian cetak di Indonesia: Kebenaran tidak pernah memihak!
Pertanyaannya sebetulnya sederhana, kenapa kita yang katanya bermayoritas muslim, tidak memaki moto pendidikan yang jelas saja seperti: Iman, Ilmu dan Amal. Atau Tauhid, Ilmu, dan Jihad. Islam mengajarkan makna yang jelas dan terukur. Karena itu, konsep menjadi orang baik dalam Islam tidak pernah dilepaskan dari sudut pandangan agama.
Kalau sudah begitu, hal ini lebih cocok dan dekat dengan ketakwaan daripada motto yang jelas-jelas didirikan oleh penganut theosofi dan kita sendiri tidak mengerti apa maknanya: Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. “Apa pak Menteri juga tahu artinya?” Mungkin begitu kata bocah kecil tadi ketika sampai di kantor Mendiknas. (pz)
Filosuf Ar Rozi

“Manusia mulia adalah manusia yang mengutamakan wahyu Allah dan akalnya dibanding mengikuti hawa nafsunya,” demikian ungkap Fakhruddin ar-Razi dalam karyanya Kitab an-Nafs wa ar-Ruh wa as-Syarh Quwahuma (Buku Mengenai Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya).
Fakhruddin ar-Razi adalah seorang
ulama-intelek yang berwibawa (m. 606 H/ 1210 M). Ia menulis ratusan
kitab dalam bidang Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Kalam, Logika, Fisika,
Filsafat, Kedokteran, Matematika, Astronomi, dan sebagainya. Menurut
ar-Razi, manusia memiliki hawa nafsu dan tabiat yang selalu berusaha
menggiringnya untuk memiliki sifat-sifat buruk. Tapi, jika manusia lebih
mengutamakan bimbingan wahyu Allah dan akal dibanding hawa nafsunya,
maka ia akan jadi mulia. Bahkan, manusia bisa lebih mulia dari
malaikat. Mengapa? Malaikat selalu bertasbih karena tidak memiliki hawa
nafsu, sementara manusia harus berjuang melawan hawa nafsunya. Demikian
pendapat Fakhruddin ar-Razi.
Bagi Fakhruddin
ar-Razi, kebahagiaan jiwa atau kenikmatan ruhani lebih tinggi
martabatnya dibanding kebahagiaan fisik atau kenikmatan jasmani, semisal
kuliner, seks dan hasrat memiliki materi. Argumentasinya sebagai
berikut. Pertama, jika kebahagiaan manusia terkait dengan hawa nafsu
dan mengikuti amarah, maka hewan-hewan tertentu -- yang amarah dan
nafsunya lebih hebat -- akan lebih tinggi martabatnya dibanding
manusia. Singa lebih kuat nafsu amarahnya dibanding manusia; burung
lebih kuat daya seksualnya ketimbang manusia. Tapi, faktanya, singa dan
burung tidak lebih mulia dari manusia.
Kedua, jika makanan atau seksualitas menjadi sebab
diraihnya kebahagiaan dan kesempurnaan, maka seseorang yang makan terus
menerus akan menjadi manusia paling sempurna atau paling bahagia. Tapi,
seorang yang makan terus menerus dalam jumlah berlebihan, justru akan
membahayakan dirinya. Jadi, sebenarnya makan adalah sekadar untuk
memenuhi kebutuhan jasmani, bukan menjadi penyebab pada kebahagiaan atau
pun kesempurnaan manusia.
Ketiga, manusia
sebagaimana hewan merasakan kenikmatan saat makan dan minum. Jika makan
menjadi sebab pada kebahagiaan, maka manusia tidak akan menjadi lebih
tinggi derajatnya dibanding hewan. Bahkan manusia bisa lebih rendah dari
hewan jika kebahagiaan manusia diidentikkan dengan kenikmatan jasmani.
Sebab, manusia -- dengan akalnya – menyadari, kenikmatan jasmani
tidaklah sempurna. Sedangkan hewan, tidak bisa menyadarinya karena hewan
tidak bisa berfikir tatkala sedang dalam kenikmatan jasmani.
Keempat,
kenikmatan jasmani sejatinya bukanlah kenikmatan yang sebenarnya.
Seseorang yang sangat lapar, akan segera merasakan nikmat yang tinggi
jika ia segera makan. Sebaliknya, seseorang yang sedikit laparnya,
sedikit pula rasa nikmatnya ketika ia makan. Seseorang merasakan
kenikmatan berpakaian saat ia merasa terlindung dari rasa dingin dan
panas. Ini menunjukkan, nikmat jasmani bukanlah kenikmatan yang
sesungguhnya. Jiwanyalah yang merasakan kebahagiaan; dan kebahagiaan
jiwa bukanlah kenikmatan jasmani.
Kelima, manusia
laiknya hewan, makan, minum, tidur, melakukan aktivitas seksual, dan
terkadang ‘menyakiti’ yang lain. Namun, manusia lebih mulia dari hewan.
Jika demikian, maka kesempurnaan dan kebahagiaan manusia mustahil sama
dengan kenikmatan jasmani hewan.
Keenam, para
malaikat lebih mulia dari hewan. Malaikat tidak makan dan tidak minum.
Kesempurnaan Allah, Sang Pencipta, juga tidak terletak sama sekali pada
hal-hal yang terkait dengan kebutuhan jasmani. Kemuliaan Allah terletak
bukan pada kebutuhan jasmani. Dalam suatu hadis Nabi disebutkan, supaya
manusia berakhlak dengan akhlak Allah. Tentunya memperbanyak kebajikan
dan kebijaksanaan akan menjadikan akhlak terpuji. Kemuliaan manusia
bukan dengan memperbanyak makan dan minum.
Ketujuh, orang yang memandang kebahagiaan dan kemuliaan bukan pada aspek jasmani, akan memandang orang yang berpuasa, menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu, sebagai seorang yang memiliki aura spiritual yang tinggi. Sebaliknya, jika seseorang menyibukkan dirinya hanya dengan makanan, seks, dan mengabaikan ibadah dan ilmu pengetahuan, maka orang tersebut dipandang rendah. Ini menunjukkan kenikmatan jasmani bukanlah kenikmatan hakiki yang mulia.
Ketujuh, orang yang memandang kebahagiaan dan kemuliaan bukan pada aspek jasmani, akan memandang orang yang berpuasa, menahan diri dari makan, minum dan hawa nafsu, sebagai seorang yang memiliki aura spiritual yang tinggi. Sebaliknya, jika seseorang menyibukkan dirinya hanya dengan makanan, seks, dan mengabaikan ibadah dan ilmu pengetahuan, maka orang tersebut dipandang rendah. Ini menunjukkan kenikmatan jasmani bukanlah kenikmatan hakiki yang mulia.
Kedelapan, jika segala
sesuatu pada dirinya adalah kesempurnaan dan kebahagiaan, maka seseorang
tidak akan malu untuk menunjukkannya. Orang itu justru bangga jika
dapat mengerjakannya. Kita paham, orang berilmu tidak akan bangga
dengan makanannya dan nafsu-nafsu syahwat lainnya. Ini --sekali lagi --
menunjukkan nikmat jasmani bukanlah sesuatu yang mengantarkan kepada
kebahagiaan dan kesempurnaan.
Kesembilan, hewan
yang kerjanya hanya makan dan minum serta malas untuk berlatih, maka ia
akan dijual murah. Sebaliknya, hewan yang makan dan minum serta mau
berlatih keras, maka akan dijual dengan harga yang tinggi. Kuda yang
ramping, berlari kencang, lebih mahal harganya dibanding kuda yang gemuk
dan malas untuk berjalan. Jika kuda yang berlatih dihargai lebih mahal,
apalagi kepada makhluk hidup yang berakal. Jika manusia berlatih,
berkerja dan melakukan kebajikan, pasti lebih tinggi nilainya.
Kesepuluh,
penduduk yang tinggal jauh dari keramaian, dari kemajuan zaman, dari
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka penduduk tersebut
dianggap lebih rendah dari penduduk yang terbiasa dengan beribadah,
berbuat baik dan maju dalam sains dan teknologi. Ini menunjukkan jika
kesempurnaan diraih bukan dengan makan, minum dan seksual. Tapi, diraih
dengan ilmu pengetahuan dan sifat-sifat baik yang mulia.
Tercela
Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika manusia hanya sibuk dengan kenikmatan jasmani, maka daya spiritualitasnya akan rendah dan intelektualitasnya tertutup. Ia akan tetap diliputi dengan nafsu kebinatangan, bukan dengan kemanusiaan. Padahal esensi kemanusiaan yang sebenarnya adalah menyibukkan diri kepada Allah, Yang Maha Agung, supaya ia menyembah-Nya, mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa raganya. Kesibukan dengan kenikmatan duniawi akan menghalanginya dari beribadah dan mengingat-Nya. Cinta kepada kenikmatan jasmani akan menghalanginya untuk meraih Cinta kepada Sang Khalik.
Tercela
Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika manusia hanya sibuk dengan kenikmatan jasmani, maka daya spiritualitasnya akan rendah dan intelektualitasnya tertutup. Ia akan tetap diliputi dengan nafsu kebinatangan, bukan dengan kemanusiaan. Padahal esensi kemanusiaan yang sebenarnya adalah menyibukkan diri kepada Allah, Yang Maha Agung, supaya ia menyembah-Nya, mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa raganya. Kesibukan dengan kenikmatan duniawi akan menghalanginya dari beribadah dan mengingat-Nya. Cinta kepada kenikmatan jasmani akan menghalanginya untuk meraih Cinta kepada Sang Khalik.
Pemikiran
Fakhruddin ar-Razi tentang konsep manusia yang mulia sungguh sangat
inspiratif. Di tengah-tengah merebaknya pemujaan terhadap budaya
kuliner, hedonis, materialis, pornoaksi dan pornografi, pemikirannya
mengingatkan kita bahwa kenikmatan ruhani, kebahagiaan jiwa, kecintaan
untuk meraih ilmu pengetahuan, melakukan ibadah, menjauhi kemaksiatan,
melakukan kebajikan dan mencintai Allah dengan segenap jiwa dan raga,
adalah esensi kemanusiaan.
Sebaliknya,
cengkeraman hawa nafsu yang menjebak manusia hanya memperbanyak
kenikmatan jasmani akan menjauhkannya dari Sang Maha Pencipta.
Pemikiran ar-Razi mudah-mudahan bisa menginspirasi kita untuk
membatasi diri dari kenikmatan jasmani, terutama di Bulan Ramadhan ini.
(****)
Pendidikan Ki Hajar Dewantoro
Dalam beberapa buku karya Ki Hadjar Dewantara tidak dijumpai istilah “karakter”, dengan makna “akhlaq” dalam Islam. Tapi, secara inplisit istilah itu muncul dalam berbagai buku karangannya dengan istilah “budi pekerti”. Oleh Ki Hadjar, budi pekerti diletakkan sebagai jiwa atau ruh dari pengajarananya. Sebab, menurutnya, pengajaran dan budi pekerti ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pengajaran atau pendidikan berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila. (Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama (Pendidikan), Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967).
Budi pekerti menurut Ki Hadjar bukan sekedar konsep
teoritis sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya. Pengajaran
budi pekerti juga bukan berarti mengajar teori tentang baik buruk, benar
salah dan seterusnya; bukan pula pengajaran dalam bentuk pemberian
kuliah atau ceramah tentang hidup kejiwaan atau peri-keadaban manusia dan atau keharusan memberi keterangan-keterangan tentang budi pekerti secara luas dan mendalam. Pengajaran budi pekerti, tegas Ki Hadjar, diterapkan untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak, menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum, seperti mengajarkan anak
bagaimana duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu
orang lain, bersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan
orang lain, suka menolong dan lain sebagainya. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).
Ki Hadjar yang dikenal sebagai tokoh pendidikan mengharapkan, anak-anak didik hendaknya diberikan anjuran-anjuran untuk melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti yang dahulu biasa saja disebut metode menyadari, menginsyafi dan melakukan, atau ngerti, ngerasa dan ngelakoni (“tri-nga”) dapat terpenuhi. (Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian A (Kebudayaan), Yogyakarta: Tamansiswa, 1967)
Ki Hadjar menghendaki budi pekerti yang bersifat terintegrasi dengan
pengajaran pada setiap bidang studi. Dengan kata lain, Ki Hadjar
menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apapun harus
mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti
pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata. Baginya pengajaran
adalah alat bukan tujuan. Pengajaran matematika misalnya adalah alat
untuk menghasilkan anak yang memiliki keterampilan dalam memahami dan
mempraktikkan rumusan hitungan secara tepat dan akurat. Namun bersamaan
dengan itu pengajaran matematika tersebut harus diarahkan pada
menghasilkan manusia yang dapat bersikap teliti, cermat, kerja teratur
dan jujur. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).
Budi pekerti -- dalam implementasi di Perguruan Tamansiswa -- bertujuan agar anak-anak didik dapat kemajuan alam hidupnya lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan.
Budi pekerti di sini juga tidak hanya menghendaki pembentukan intelek,
tetapi menghendaki juga pendidikan dalam arti pemeliharaan dan pelatihan
susila (budi), karena menurut Ki Hadjar, adab
atau keluhuran budi manusia itu menunjukkan sifat batinnya manusia,
sedangkan kesusilaan atau kehalusan itu menunjukkan sifat hidup
lahiriyah manusia yang serba halus dan indah. Ki Hadjar menyatakan, “Bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat batinnya seseorang dengan pasti dan tetap”. Ki Hadjar juga menegaskan, “Bahwa tidak ada dua budi pekerti orang yang sama, meskipun sama dua roman wajah seseorang, tidaklah sama kedua budi pekertinya”. (Abdurrahman Surjomiharjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986).
Ki Hadjar pun berpendapat bahwa pendidikan
budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa
kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin. Menyimak gagasan dan pemikirannya tentang pendidikan budi pekerti, terlihat dengan jelas, konsep budi pekerti Ki Hadjar diarahkan pada pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang universal. (Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Tamansiswa, 1964)
Pendidikan adab
Sebagai ajaran yang berdasarkan pada wahyu Allah, Islam tidak menolak nilai-nilai universal yang baik. Tetapi, Islam meletakkan sifat-sifat baik seperti: jujur, sopan dan toleransi semuanya dalam bingkai dan dasar keimanan, bukan
sekedar “rasa kemanusiaan” semata yang lepas dari nilai-nilai Islam.
Seorang muslim diajarkan untuk jujur, bukan karena kemanfaatan sifat
jujur semata, tetapi karena jujur itu perintah Allah Swt. Sebagaimana diungkapkan Adian Husaini,
bahwa semua aktifitas kemanusiaan baik berupa amal shaleh, akhlak,
maupun nilai-nilai kebajikan lainnya seperti jujur, kebersihan, dan
kerja keras, harus dilandasi dan dalam bingkai keimanan. Jika amal
shaleh atau sifat kemanusiaan tidak dilandasi dengan keimanan, maka
perbuatan itu akan menjadi berbahaya bahkan melanggar batas-batas ketentuan Allah Swt”.(Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala, 2013).
Dalam perspektif Islam, hubungan antara iman dan budi pekerti adalah hubungan yang tidak bisa dilepaskan, karena iman
merupakan sumber akhlak yang luhur. Akhlak inilah yang pada gilirannya
menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat sesuatu.
Sedangkan ilmu menuntun manusia untuk menjadi manusia yang beradab. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (M. Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003)
Jadi dalam perspektif Islam, pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan budi pekerti, perlu dilandasi keimanan, bukan berdasarkan budaya semata. Dan semua aktivitas yang berpijak pada dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas, lahir maupun bathin, lantaran iman merupakan hubungan antara hamba dan Sang Khaliq. (Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: GIP, 2005).
Dengan demikian, menurut penulis, gagasan Ki Hadjar, agar lebih efektif dan “selamat”, maka pendidikan budi pekerti ini perlu didasarkan pada unsur-unsur ketauhidan, sehingga makin selaras dengan tujuan Pendidikan Nasional yang bertujuan meningkatkan iman dan takwa, sesuai UU Sisdiknas No 20 (Pasal 3) tahun 2003. “Budi pekerti” yang tidak dilandasi keimanan, berpotensi menyimpang dari ajaran Tuhan dan merusak esensi kemanusiaan.
Allah
SWT misalnya menggariskan, hanya boleh tolong menolong dalam kebaikan.
Maka toleransi bisa dilakukan, tetapi tidak untuk kemusyrikan dan
kejahatan. Cinta kasih sesama manusia perlu dibatasi dengan pijakan
iman. Tidak boleh misalnya menikah sesama jenis, meski berdasar kasih
sayang antar sesama. Maka, idealnya semboyan Pendidikan Nasional kita
diubah menjadi: “Iman, Ilmu, Amal”. Bukan sekedar: tut wuri handayani. (***)
6 Karakter Pendidikan Islam
Pendidikan
karakter adalah sesuatu yang baik. Dalam Islam, karakter identik dengan
akhlaq, yaitu kecenderungan jiwa untuk bersikap/bertindak secara
otomatis. Akhlaq yang sesuai ajaran Islam disebut dengan akhlaqul karimah atau akhlaq mulia (Mohamed Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, 1975),
yang dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, bawaan lahir, sebagai
karunia dari Allah. Contohnya adalah akhlaq para nabi. Kedua, hasil
usaha melalui pendidikan dan penggemblengan jiwa (SM Ziauddin Alavi, Muslim Educational Thought in The Middle Ages, 1988).
Berdasarkan
pengkajian penulis terhadap konsep akhlak Islam yang berlandaskan nash
al-Quran dan hadits Nabi serta konsep karakter dalam tradisi
empiris-rasional Barat, program pendidikan karakter yang baik seyogyanya
memenuhi enam prinsip pendidikan akhlaq, yaitu:
1. Menjadikan Allah Sebagai Tujuan
Perbedaan mendasar antara masyarakat sekular dengan Islam terletak pada cara memandang Tuhan. Masyarakat
sekular hanya mengimani “ide ketuhanan” karena ide ini berpengaruh baik
bagi perilaku manusia. Mereka tidak ambil pusing apakah yang diimani
benar-benar wujud atau sekedar khayalan (Muhammad Ismail, Bunga Rampai Pemikiran Islam, 1993). Sebuah penelitian menunjukkan, 80% responden menyatakan bahwa mencuri tetap salah sekalipun diperintahkan Tuhan (Larry Nucci, Handbook of Moral and Character Education, 2008).
Kaum secular mengurung agama dalam interpretasi kemanusiaan. Agama
versi sekular tidak dapat menjelaskan keajaiban yang dialami Nabi
Ibrahim tatkala menerima wahyu untuk menyembelih putranya.
Islam
mengimani Allah sebagai Tuhan yang wujud sehingga ketaatan kepadaNya
menjadi mutlak. Islam bukanlah agama sekular yang memasung agama dalam
dinding kehidupan privat. Agama tidak diakui sekedar diambil manfaatnya.
Agama merupakan penuntun kehidupan dunia menuju keridhaan Allah. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” [QS. al-Dzaariyaat 56]
Keridhaan
Allah merupakan kunci sukses kehidupan. Ilmu, kecerdasan, maupun rizki
hanya mungkin dicapai apabila Allah menganugerahkannya kepada manusia
(Zibakalam-Mofrad, 1999; Alavi, 1975). Untuk menggapai keridhaan Allah
inilah, manusia wajib menghiasi diri dengan akhlaq mulia (Sherif, 1975).
2. Memperhatikan Perkembangan Akal Rasional
Perilaku
manusia dipengaruhi oleh pengetahuan dan pemahamannya tentang hidup
(an-Nabhani, 2002). Pendidikan karakter tidak akan membawa kesuksesan
apabila murid tidak memahami makna-makna perilaku dalam kehidupannya.
Untuk itu, Islam sangat menekankan pendidikan akal. Allah Swt
menyebutkan keutamaan orang-orang yang berpikir dan mempunyai ilmu dalam
berbagai ayat, salah satunya adalah QS. at-Thariq [86] ayat 5 (yang
artinya): Maka hendaklah manusia memperhatikan (sehingga memikirkan konsekuensinya) dari apakah dia diciptakan?
Akal
adalah alat utama untuk mencapai keimanan. Akal harus diasah dengan
baik sehingga manusia memahami alasan perilaku baiknya. Pada tahap awal
pendidikan, anak-anak memerlukan doktrinasi. Orang tua tidak boleh
membiarkan mereka memukul teman atau bermain api walaupun mereka belum
memahami alasan pelarangan itu. Namun, sejalan dengan usia, akal manusia
mulai mempertanyakan alasan rasional. Keingintahuan ini tidak boleh
diabaikan. Salah satu cara untuk mengasah akal adalah dengan perumpamaan
dan dialog (Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, 1995).
Rasulullah Saw sering melakukan dialog dengan para sahabatnya dalam
rangka mengasah kemampuan akal mereka. Salah satunya tergambar dalam
hadist berikut: “Apakah pendapat kalian, jika sebuah sungai berada
di depan pintu salah satu dari kalian, sehingga ia mandi darinya sehari
lima kali; apakah akan tersisa kotoran pada badannya?” Para sahabat
menyahut, “Tidak sedikit pun kotoran tersisa pada badannya.” Nabi
melanjutkan, “Demikianlah seperti shalat lima waktu, dengannya Allah
menghapus kesalahan-kesalahan.” [HR. Muslim]
Dialog
antara pendidik dan anak didik harus selalu dipelihara. Pendidik harus
cerdas sehingga mampu mengimbangi pertanyaan-pertanyaan dari anak didik.
Pendidik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk memikirkan
persoalan yang dihadapi dan mengarahkannya pada solusi Islam.
3. Memperhatikan Perkembangan Kecerdasan Emosi
Perilaku
manusia banyak terpengaruh oleh kecenderungan emosinya (Elias dkk,
2008; Narvaez, 2008). Pendidikan karakter yang baik memperhatikan
pendidikan emosi, yaitu bagaimana melatih emosi anak agar dapat
berperilaku baik. Penelitian menunjukkan bahwa program pendidikan
karakter yang efektif harus disertai dengan pendidikan emosi (Elias dkk,
2008; Kessler & Fink, 2008).
Ketika
seorang pemuda datang meminta ijin berzina, Rasulullah Saw tidak
menghardik pemuda ini atas kegagalannya memahami larangan zina secara
kognitif. Nabi Saw menyentuh faktor emosinya dengan mengatakan, “Sukakah
dirimu jika seseorang menzinai ibumu?” Sang pemuda menjawab, tidak.
Maka Nabi mengatakan, “Sama, orang lain juga tidak suka ibunya kamu
zinai. Sukakah dirimu jika seseorang menzinai putrimu?” Sang pemuda
terkejut dan secara tegas menolaknya. Nabi Saw melanjutkan, “Sama, orang
lain juga tidak suka jika putrinya kamu zinai.” Nabi Saw memahami
gejolak sang pemuda dan memilih menyentuh faktor emosinya. Sang pemuda
diarahkan untuk merasakan bahwa apa yang hendak dilakukannya akan
menyakiti orang lain.
Pembangunan
kecerdasan emosi juga Rasulullah Saw lakukan melalui upaya meningkatkan
kedekatan hamba kepada Allah Swt. Disebutkan dalam sebuah hadits qudsi:
“Jika seorang hamba bertaqarrub kepadaKu sejengkal, Aku
mendekatinya sehasta. Jika ia mendekatiKu sehasta, Aku medekatinya
sedepa. Jika ia mendekatiKu dengan berjalan, maka Aku mendekatinya
dengan berlari.” (Shahih Bukhari)
Kecerdasan
emosi anak didik harus mendapatkan perhatian. Emosi anak yang ditekan
dapat menjadikan anak tumbuh sebagai individu yang masa bodoh (al-Naqib,
1993). Kehebatan akal yang tidak didukung dengan kecerdasan emosi
menyebabkan manusia melakukan tindakan spontan yang bertentangan dengan
rasional dan nilai-nilai akhlaq.
4. Praktik Melalui Keteladanan dan Pembiasaan
Lingkungan
masyarakat yang mempraktikkan akhlaqul karimah merupakan bentuk
keteladanan dan pembiasaan terbaik. Penelitian menyebutkan bahwa
perilaku anak lebih ditentukan oleh lingkungannya daripada kondisi
internal si anak (Leming, 2008). Keteladanan dan pembiasaan merupakan
faktor utama dalam mengasah kecerdasan emosi (Narvaez, 2008).
Dalam
mendidik karakter umat Islam, Rasulullah Saw menjadikan dirinya suri
teladan terlebih dahulu sebelum menuntut umatnya mempraktikkannya.
Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh para pendidik. Bahkan,
para teladan harus menunjukkan kebaikan yang lebih besar dari apa yang
dituntut atas anak-anak sehingga anak-anak menjadi lebih termotivasi
dalam menjalankan kebaikan.
Keteladanan Rasululullah Saw ditegaskan Allah Swt dalam firmanNya di Surat al-Ahzab ayat 21: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Dalam
kehidupan sehari-hari, Rasulullah Saw selalu berpegang teguh kepada
perilaku terpuji sesuai ajaran Islam, sehingga Aisyah ra. menyatakan: “Akhlaq Rasulullah Saw adalah (sesuai) al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Selain
memberikan keteladanan, Rasulullah Saw menyuruh para orang tua untuk
membiasakan anak-anak menjalankan perintah agama sejak kecil, walaupun
mereka baru terkena beban agama setelah baligh. Dalam sebuah hadist Nabi
Saw bersabda: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan
shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah
mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak
melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud & al-Hakim)
Rasulullah
Saw memberikan keteladanan sekaligus membiasakan perbuatan baik melalui
penerapan Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Larangan zina, misalnya,
didukung dengan langkah-langkah untuk menjauhkan manusia dari berzina,
seperti larangan untuk berdua-duaan, kewajiban untuk menutup aurat,
serta pelaksanaan hukuman bagi pelaku zina.
5. Memperhatikan Pemenuhan Kebutuhan Hidup
Karakter
tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
Seseorang yang beristri lebih mudah untuk menghalau keinginan berzina
daripada mereka yang membujang. Seseorang yang kenyang akan terhindar
dari mencuri makanan. Tindakan kriminalitas sering terjadi akibat
tekanan kebutuhan.
Islam
memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan pokok masyarakat. Apabila
seseorang tidak mampu mendapatkan pekerjaan sendiri, maka negara wajib
menyediakan lapangan pekerjaan untuknya. Apabila seseorang tidak mampu
bekerja (cacat, tua, gila, dsb) maka Islam mewajibkan keluarganya untuk
menanggung hidupnya. Apabila keluarganya tidak mampu atau tidak memiliki
keluarga, maka Islam mewajibkan negara untuk mengurusi segala
keperluannya (Abdul Aziz Al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, 1995). Rasulullah Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa
mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya. Dan barangsiapa
mati meninggalkan keluarga yang memerlukan santunan, maka akulah
penanggungnya.” (HR. Muslim)
Jaminan
atas kebutuhan dasar hidup memberikan rasa aman bagi tiap-tiap individu
dalam masyarakat. Masyarakat tidak lagi perlu khawatir biaya sekolah
anak cucunya sehingga menumpuk harta melebihi kebutuhannya, bahkan
dengan cara-cara tidak halal. Masyarakat lebih rela mengantri apabila
ada jaminan bahwa mereka yang mengantri tidak akan kehabisan sembako,
tiket, atau kursi. Penumpang pesawat terbang bersedia mengantri dengan
tertib karena jatah kursinya sudah terjamin. Penumpang kereta ekonomi
tidak mau mengantri karena mereka harus berebut kursi.
6. Menempatkan Nilai Sesuai Prioritas
Pendidikan
karakter seringkali tidak efektif karena ada perbedaan prioritas dalam
memandang nilai. Ada seorang siswa laki-laki sekolah menengah trauma ke
sekolah akibat digundul secara paksa oleh gurunya. Perbedaan persepsi
rambut panjang bahkan pernah berujung menjadi tawuran antara orang tua
murid dengan guru
Islam
memiliki konsep prioritas perbuatan, yang terbagi dalam 5 (lima)
kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian
moralitas tidak terlepas dari kelima tingkatan prioritas ini. Islam
tidak melarang laki-laki berambut panjang, namun mewajibkan merapikan
dan menjaga kebersihannya (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 1, 2011).
Dalilnya adalah kisah Abu Qatadah ra. yang memiliki rambut panjang dan
menanyakan kebolehannya kepada Nabi. Beliau Saw menyuruhnya untuk
merapikan dan menyisirnya setiap hari.
Pendidik
wajib mengetahui kedudukan tiap-tiap perbuatan sebelum mengambilnya
sebagai aturan kedisiplinan. Dalam wilayah yang sunnah, mubah, dan
makruh, apabila ada hal yang ingin dijadikan aturan kedisiplinan, maka
pendidik harus mengkomunikasikan dan mengikutsertakan anak-anak dalam
membuat keputusan sehingga mereka memaklumi manfaat aturan tersebut bagi
kelangsungan komunitas dan menjalankannya secara bersungguh-sungguh.
Demikianlah
enam prinsip pendidikan karakter. Keenam prinsip ini harus dipenuhi
agar pendidikan karakter dapat mencapai kesuksesan.*
Langganan:
Postingan (Atom)